Seorang gadis berdiri tegak di ujung sisi atap gedung. Kedua
tangannya mencengkram pagar besi yang membatasi seluruh sisi atap. Matanya
terpejam, sesaat memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi dalam hidupnya.
Sesuatu yang lebih tepat disebut rentetan tragedi buruk. Ia membuka matanya
perlahan, menatap hamparan gedung-gedung bertingkat dan langit yang sedang
muram. Tatapannya beralih ke bawah, terlihat hiruk pikuk jalan raya dan
trotoar, mereka semua terlihat seperti semut yang berhimpitan. Terlalu kecil
jika dilihat dari atas atap gedung dua puluh lantai.
Sudah satu jam ia berdiri sendirian di sana. Memantapkan niat
untuk terjun bebas ke bawah, menyusul semua anggota keluarganya yang telah
tiada. Semua karena peristiwa malam itu. Malam di mana rumahnya kerampokkan dan
semua anggota keluargannya dibunuh. Beruntung saat itu ia tidak di rumah. Ia
terpaksa tidur di rumah temannya karena sudah terlalu malam untuk pulang. Dan
ketika paginya ia pulang, rumahnya sudah ramai. Sampai kini ia masih sangat
ingat. Para polisi yang langsung membawanya menjauh dari ambulan-ambulan yang
pintu belakangnya sudah dikunci.
Kini ia merasa hidupnya sudah tak berarti lagi. Seperti tak
ada hal yang ingin ia capai, selain terjun bebas ke bawah sana. Ia sudah
melewati rawat kejiwaan selama sebulan setelah peristiwa buruk itu. Mendapatkan
seluruh dukungan dari beberapa orang yang dekat dengannya. Tapi ternyata
terbukti bahwa tidaklah mudah menyembuhkan orang depresi. Memang terasa sangat
berat jika kehilangan enam orang yang kita cintai secara bersamaan. Apalagi
untuk gadis delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA.
Kini tampaknya ia benar-benar sudah mantap. Dengan tangan
bergetar ia mencoba memanjat pagar besi itu. Hanya butuh waktu beberapa menit
untuknya melewati pagar besi itu dan kini ia tengah berdiri di undakan kecil,
membelakangi pagar besi yang juga menjadi tempatnya perpegangan. Sedikit
gerakan saja akan menerbangkan tubuhnya ke bawah, terjun bebas dan mati
mengenaskan. Mudah sekali ia melakukannyan. Hanya dengan melepaskan cengkraman
tangannya pada pagar besi. Tapi tiba-tiba ia enggan melepaskan cengkraman
tangannya.
"Tepat sekali." teriak seorang pria. Ia melangkah
perlahan mendekati gadis itu. Di tangan kanannya tergenggam secangkir capuccino
yang masih mengepulkan asap samar.
"Siapa kamu?!" sentak gadis itu.
"Aku hanya ingin meminum capuccinoku dengan
tenang di sini. Lanjutkan saja, aku tak akan melarangmu untuk terjun ke bawah
sana." ucap pria itu dengan satu tangan menumpu pada pagar besi. Hanya
berjarak satu meter dengan gadis itu. Perlahan ia menyesap capuccinonya
dengan mata terpejam, menikmati gradasi kopi dan milk cream yang
menurutnya sangat pas. Balanced.
"Apa alasanmu ingin melakukan hal sebodoh itu?"
tanya pria itu tanpa memalingkan wajahnya. Tatapannya tetap lurus ke depan.
"Apa urusanmu?"
"Tidak ada. Aku hanya iseng."
Pria itu menyesap capuccinonya lagi lalu menghela
napas panjang sambil memalingkan wajahnya, menatap gadis itu yang mulai
melepaskan cengkraman tangannya. Tanpa sepengetahuannya, pria itu bergeser
mendekatinya dengan garakan cepat. Detik selanjutnya tubuh gadis itu melanyang
ke depan tapi dengan sigap pria itu meraih tangannya. Cangkir marmer berisi
cairan kental yang baru disesap beberapa tetes itu terlempar, terjun bebas dari
atas atap gedung dua puluh lantai. Posisi mereka sekarang sangat berbahaya.
Setengah badan pria itu terulur ke bawah dengan kedua tangan mencengkram
pergelangan tangan kanan gadis itu. Sedikit gerakan saja bisa berakibat fatal.
"Cengkram tanganku, jangan lakukan hal bodoh!"
teriak pria itu.
"Kenapa kau menolongku? Kenapa kau berpura-pura tak
peduli tadi?" gadis itu balas berteriak. "Lepaskan aku!"
Pria itu tersenyum, menatap lekat-lekat wajah gadis itu. Mata
mereka bertemu. Membuatnya diam, terus membalas tatapan pria itu. Dan secara
perlahan tubuhnya ditarik ke atas. Tanpa sadar gadis itu menarik dua sisi
bibirnya ke atas.
Tiba-tiba ia merangkuh pria itu dengan isak yang menderu.
Pria itu membalasnya dengan lembut. Tangannya mengusap rambut panjang gadis
itu. Dengan gerakan sangat pelan dan hati-hati, pria itu mengambil sesuatu di
dalam saku celananya. Ia mengambil sebuah suntikkan yang sudah terisi cairan
bening.
"Tidurlah sebentar." bisik pria itu sambil
menancapkan jarum suntiknya. Tepat di bagian lengan. Lalu perlahan tubuh gadis
itu melemas. Tidak sadarkan diri.
***
Ia menidurkan gadis itu di sebuah sofa panjang. Sempat sesaat
ia memandangi gadis itu lekat-lekat. Dan...
"Manis." kata itu terucap begitu saja dari
bibirnya. Diumurnya yang sudah matang, wajar jika hasrat laki-lakinya muncul
ketika melihat gadis tak berdaya di hadapannya. Tapi dengan cepat ia tepis
bisikan iblis itu. Ia bukan laki-laki seperti itu. Dia adalah seorang pria gentlemen
dengan profesi yang lebih mementingkan kepercayaan.
Ia menyiapkan mesin penggiling kopi sederhana di atas meja
bersama satu poci dan dua cangkir marmer, ada juga sebuah botol berisi cairan
putih kental. Hanya dalam waktu beberapa menit meja panjang itu berubah menjadi
meja barista kedai kopi. Siap meracik kopi kapan saja.
"Bangunlah." ujarnya lirih sambil menempelkan ujung
botol minyak kayu putih yang terbuka ke hidung gadis itu. Perlahan ia mulai
tersadar. Dan ketika ia tersadar sepenuhnya, tatapan tajam yang menghakimi
langsung terfokus pada pria itu.
"Apa yang kau lakukan?!" tanya gadis itu.
"Tenanglah. Aku hanya melakukan prosedur kerja."
jawab pria itu santai dengan satu alis terangkat, lalu beralih duduk menghadap
gadis itu.
"Prosedur kerja?!"
"Tenang, selama kau tertidur aku tidak berbuat yang
aneh-aneh. Aku hanya membawamu ke sini, karena kurasa apartemenku lebih aman
dari pada atap gedung dua puluh lantai." ia mengakhiri penjelasannya
dengan sebesit senyum.
"Sebenarnya kau ini siapa?"
"Genandar, tangan kanan Tuan Renaldi." kata pria
itu mantap sambil mengulurkan secarik kartu nama. Tapi gadis itu enggan
menerimanya, lantas kartu nama itu diletakan di atas meja. "Salam kenal
Nona Alena Tyafraneldi." Alena terkejut setengah mati ketika Genandar
melafalkan nama lengkapnya. Selama ini hanya orang-orang tertentu saja yang
mengetahui nama lengkapnya, tapi sekarang? Orang asing pun tahu.
"Dari mana kau tahu nama lengkapku?!" sentaknya.
"Aku telah membaca semua dokumen pribadimu, salah
satunya adalah buku dierymu. Maaf soal itu, aku terpaksa melakukannya karena
itu bagian dari prosedur kerja." Genandar mulai tertunduk. Ia sudah siap
menerima tamparan atau pun tendangan. Segala resiko siap ia hadapi.
Alena menghela napas panjang, lalu menghempaskan tubuhnya ke
sofa dengan mata terpejam. Ia sudah muak dengan segala sesuatu yang terjadi di
hidupnya. Rasanya ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya di tepi
jurang, lalu terjun bebas ke dasarnya. Dalam hati ia menyesal telah menangis di
pelukan pria itu. Sangat menyesal. Karena perkiraannya tentang ketulusan pria
itu saat mereka saling menatap dengan posisi yang tidak lazim -lebih tepatnya
berbahaya- telah salah besar.
"Jadi alasanmu menolongku hanya karena prosedur kerjamu
itu?" Alena bertanya dengan suara samar.
"Tidak juga." jawab Genandar. Ia mengangkat
wajahnya lalu menatap Alena lekat-lekat. Perlahan Alena membuka matanya,
menegakkan tubuhnya dan membalas tatapan itu. Mereka saling menatap lagi. Dan
sekali lagi gadis itu seperti terhipnotis.
"Kau terlalu cantik untuk menjadi mayat yang berlumuran
darah." kalimat itu terucap begitu saja, membuat wajah Alena memerah.
"Dasar!" dengus Alena seraya menghempaskan tubuhnya
ke sofa. Sebenarnya ia hanya ingin menyembunyikan wajahnya yang merona.
Tangan Genandar yang cekatan mulai meracik dua cangkir capuccino.
Hanya butuh waktu lima menit ia membuatnya. Dan kini dua cangkir capuccino
yang masih mengepulkan asap samar siap disesap.
"Minumlah, mungkin itu bisa membuatmu lebih
tenang." pria itu menawarkan capuccino buatannya.
"Kau tidak memasukan racun atau obat tidurkan?"
"Tenang. Jika ada racun, kita akan mati bersama.
Bukankah kau ingin mati, seharusnya kau senang jika aku menaruh racun di
minumanmu."
"Tapi sayangnya sekarang aku sudah kehilangan nafsu
untuk mati."
"Kuharap kau tidak kehilangan nafsu untuk meminum
ini."
Mereka berdua mulai menyesap capuccinonya
masing-masing. Seperti biasa Genandar menyesapnya dengan mata terpejam dan
mengakhirinya dengan helaan napas panjang. Berbeda dengan Alena yang baru
pertama kali meminum capuccino. Wajahnya seperti terkejut ketika
lidahnya menyentuh cairan kental di cangkirnya. Seperti memaksanya untuk
terpejam sesaat, membuat keresahannya menguap perlahan.
"Capuccino adalah minuman yang mempunyai dua
rasa, dan rasa itu bergradasi sempurna dalam takaran yang pas dan seimbang.
Kurasa hidup ini seperti capuccino, ketika kau merasakan manisnya milk
cream pasti kau juga merasakan pahitnya kopi, tapi tetap dalam takaran yang
pas dan seimbang. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada manis dan pahitnya tersendiri,
tinggal seberapa tinggi kepekaan hatimu dalam menganalisanya." jelas pria
itu panjang lebar. Alena mengangguk perlahan, tanda mengerti.
"Sebutkan satu masa dengan rasa terpahit dalam
hidupmu." Alena berkata pelan dan datar.
"Aku dilahirkan yatim piatu tanpa sanak saudara atau pun
kerabat. Aku pernah hidup di jalanan tiga tahun." jawab Genandar dengan
tatapan menerawang, mengingat-ingat masa terkelam yang sudah ia lalui.
"Rasa manisnya?"
"Tanpa sepengetahuan orang lain, ayahmu mengadopsiku
untuk diperkerjakan. Saat itulah aku merasa punya keluarga. Seseorang yang
mempercayaiku." sebulir air mata menetes dari mata kirinya, mengalir
begitu saja. Membuat Alena tertegun.
"Jadi kau saudaraku?" tanya Alena cepat.
"Hanya saudara tiri." jawab pria itu lirih seraya
mengangkat capuccinonya untuk disesap. "Aku diberi amanat dari Tuan
Renaldi untuk selalu menjagamu." perlahan sebesit senyum merekah di bibir
mungil gadis itu.
***
1 komentar:
Write komentarkeren ceritanya
ReplyEmoticonEmoticon