(Cerpen) Bitter Sweet Capuccino Karya Garin Eka Putra (dibedah pada 29 Oktober 2015)



Seorang gadis berdiri tegak di ujung sisi atap gedung. Kedua tangannya mencengkram pagar besi yang membatasi seluruh sisi atap. Matanya terpejam, sesaat memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi dalam hidupnya. Sesuatu yang lebih tepat disebut rentetan tragedi buruk. Ia membuka matanya perlahan, menatap hamparan gedung-gedung bertingkat dan langit yang sedang muram. Tatapannya beralih ke bawah, terlihat hiruk pikuk jalan raya dan trotoar, mereka semua terlihat seperti semut yang berhimpitan. Terlalu kecil jika dilihat dari atas atap gedung dua puluh lantai.

Sudah satu jam ia berdiri sendirian di sana. Memantapkan niat untuk terjun bebas ke bawah, menyusul semua anggota keluarganya yang telah tiada. Semua karena peristiwa malam itu. Malam di mana rumahnya kerampokkan dan semua anggota keluargannya dibunuh. Beruntung saat itu ia tidak di rumah. Ia terpaksa tidur di rumah temannya karena sudah terlalu malam untuk pulang. Dan ketika paginya ia pulang, rumahnya sudah ramai. Sampai kini ia masih sangat ingat. Para polisi yang langsung membawanya menjauh dari ambulan-ambulan yang pintu belakangnya sudah dikunci.

Kini ia merasa hidupnya sudah tak berarti lagi. Seperti tak ada hal yang ingin ia capai, selain terjun bebas ke bawah sana. Ia sudah melewati rawat kejiwaan selama sebulan setelah peristiwa buruk itu. Mendapatkan seluruh dukungan dari beberapa orang yang dekat dengannya. Tapi ternyata terbukti bahwa tidaklah mudah menyembuhkan orang depresi. Memang terasa sangat berat jika kehilangan enam orang yang kita cintai secara bersamaan. Apalagi untuk gadis delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA.
Kini tampaknya ia benar-benar sudah mantap. Dengan tangan bergetar ia mencoba memanjat pagar besi itu. Hanya butuh waktu beberapa menit untuknya melewati pagar besi itu dan kini ia tengah berdiri di undakan kecil, membelakangi pagar besi yang juga menjadi tempatnya perpegangan. Sedikit gerakan saja akan menerbangkan tubuhnya ke bawah, terjun bebas dan mati mengenaskan. Mudah sekali ia melakukannyan. Hanya dengan melepaskan cengkraman tangannya pada pagar besi. Tapi tiba-tiba ia enggan melepaskan cengkraman tangannya.

"Tepat sekali." teriak seorang pria. Ia melangkah perlahan mendekati gadis itu. Di tangan kanannya tergenggam secangkir capuccino yang masih mengepulkan asap samar.

"Siapa kamu?!" sentak gadis itu.

"Aku hanya ingin meminum capuccinoku dengan tenang di sini. Lanjutkan saja, aku tak akan melarangmu untuk terjun ke bawah sana." ucap pria itu dengan satu tangan menumpu pada pagar besi. Hanya berjarak satu meter dengan gadis itu. Perlahan ia menyesap capuccinonya dengan mata terpejam, menikmati gradasi kopi dan milk cream yang menurutnya sangat pas. Balanced.

"Apa alasanmu ingin melakukan hal sebodoh itu?" tanya pria itu tanpa memalingkan wajahnya. Tatapannya tetap lurus ke depan.

"Apa urusanmu?"

"Tidak ada. Aku hanya iseng."

Pria itu menyesap capuccinonya lagi lalu menghela napas panjang sambil memalingkan wajahnya, menatap gadis itu yang mulai melepaskan cengkraman tangannya. Tanpa sepengetahuannya, pria itu bergeser mendekatinya dengan garakan cepat. Detik selanjutnya tubuh gadis itu melanyang ke depan tapi dengan sigap pria itu meraih tangannya. Cangkir marmer berisi cairan kental yang baru disesap beberapa tetes itu terlempar, terjun bebas dari atas atap gedung dua puluh lantai. Posisi mereka sekarang sangat berbahaya. Setengah badan pria itu terulur ke bawah dengan kedua tangan mencengkram pergelangan tangan kanan gadis itu. Sedikit gerakan saja bisa berakibat fatal.

"Cengkram tanganku, jangan lakukan hal bodoh!" teriak pria itu.

"Kenapa kau menolongku? Kenapa kau berpura-pura tak peduli tadi?" gadis itu balas berteriak. "Lepaskan aku!"

Pria itu tersenyum, menatap lekat-lekat wajah gadis itu. Mata mereka bertemu. Membuatnya diam, terus membalas tatapan pria itu. Dan secara perlahan tubuhnya ditarik ke atas. Tanpa sadar gadis itu menarik dua sisi bibirnya ke atas.

Tiba-tiba ia merangkuh pria itu dengan isak yang menderu. Pria itu membalasnya dengan lembut. Tangannya mengusap rambut panjang gadis itu. Dengan gerakan sangat pelan dan hati-hati, pria itu mengambil sesuatu di dalam saku celananya. Ia mengambil sebuah suntikkan yang sudah terisi cairan bening.

"Tidurlah sebentar." bisik pria itu sambil menancapkan jarum suntiknya. Tepat di bagian lengan. Lalu perlahan tubuh gadis itu melemas. Tidak sadarkan diri.

***

Ia menidurkan gadis itu di sebuah sofa panjang. Sempat sesaat ia memandangi gadis itu lekat-lekat. Dan...

"Manis." kata itu terucap begitu saja dari bibirnya. Diumurnya yang sudah matang, wajar jika hasrat laki-lakinya muncul ketika melihat gadis tak berdaya di hadapannya. Tapi dengan cepat ia tepis bisikan iblis itu. Ia bukan laki-laki seperti itu. Dia adalah seorang pria gentlemen dengan profesi yang lebih mementingkan kepercayaan.

Ia menyiapkan mesin penggiling kopi sederhana di atas meja bersama satu poci dan dua cangkir marmer, ada juga sebuah botol berisi cairan putih kental. Hanya dalam waktu beberapa menit meja panjang itu berubah menjadi meja barista kedai kopi. Siap meracik kopi kapan saja.

"Bangunlah." ujarnya lirih sambil menempelkan ujung botol minyak kayu putih yang terbuka ke hidung gadis itu. Perlahan ia mulai tersadar. Dan ketika ia tersadar sepenuhnya, tatapan tajam yang menghakimi langsung terfokus pada pria itu.

"Apa yang kau lakukan?!" tanya gadis itu.

"Tenanglah. Aku hanya melakukan prosedur kerja." jawab pria itu santai dengan satu alis terangkat, lalu beralih duduk menghadap gadis itu.

"Prosedur kerja?!"

"Tenang, selama kau tertidur aku tidak berbuat yang aneh-aneh. Aku hanya membawamu ke sini, karena kurasa apartemenku lebih aman dari pada atap gedung dua puluh lantai." ia mengakhiri penjelasannya dengan sebesit senyum.

"Sebenarnya kau ini siapa?"

"Genandar, tangan kanan Tuan Renaldi." kata pria itu mantap sambil mengulurkan secarik kartu nama. Tapi gadis itu enggan menerimanya, lantas kartu nama itu diletakan di atas meja. "Salam kenal Nona Alena Tyafraneldi." Alena terkejut setengah mati ketika Genandar melafalkan nama lengkapnya. Selama ini hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui nama lengkapnya, tapi sekarang? Orang asing pun tahu.

"Dari mana kau tahu nama lengkapku?!" sentaknya.

"Aku telah membaca semua dokumen pribadimu, salah satunya adalah buku dierymu. Maaf soal itu, aku terpaksa melakukannya karena itu bagian dari prosedur kerja." Genandar mulai tertunduk. Ia sudah siap menerima tamparan atau pun tendangan. Segala resiko siap ia hadapi.

Alena menghela napas panjang, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan mata terpejam. Ia sudah muak dengan segala sesuatu yang terjadi di hidupnya. Rasanya ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya di tepi jurang, lalu terjun bebas ke dasarnya. Dalam hati ia menyesal telah menangis di pelukan pria itu. Sangat menyesal. Karena perkiraannya tentang ketulusan pria itu saat mereka saling menatap dengan posisi yang tidak lazim -lebih tepatnya berbahaya- telah salah besar.

"Jadi alasanmu menolongku hanya karena prosedur kerjamu itu?" Alena bertanya dengan suara samar.

"Tidak juga." jawab Genandar. Ia mengangkat wajahnya lalu menatap Alena lekat-lekat. Perlahan Alena membuka matanya, menegakkan tubuhnya dan membalas tatapan itu. Mereka saling menatap lagi. Dan sekali lagi gadis itu seperti terhipnotis.

"Kau terlalu cantik untuk menjadi mayat yang berlumuran darah." kalimat itu terucap begitu saja, membuat wajah Alena memerah.

"Dasar!" dengus Alena seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Sebenarnya ia hanya ingin menyembunyikan wajahnya yang merona.
Tangan Genandar yang cekatan mulai meracik dua cangkir capuccino. Hanya butuh waktu lima menit ia membuatnya. Dan kini dua cangkir capuccino yang masih mengepulkan asap samar siap disesap.

"Minumlah, mungkin itu bisa membuatmu lebih tenang." pria itu menawarkan capuccino buatannya.

"Kau tidak memasukan racun atau obat tidurkan?"

"Tenang. Jika ada racun, kita akan mati bersama. Bukankah kau ingin mati, seharusnya kau senang jika aku menaruh racun di minumanmu."

"Tapi sayangnya sekarang aku sudah kehilangan nafsu untuk mati."

"Kuharap kau tidak kehilangan nafsu untuk meminum ini."

Mereka berdua mulai menyesap capuccinonya masing-masing. Seperti biasa Genandar menyesapnya dengan mata terpejam dan mengakhirinya dengan helaan napas panjang. Berbeda dengan Alena yang baru pertama kali meminum capuccino. Wajahnya seperti terkejut ketika lidahnya menyentuh cairan kental di cangkirnya. Seperti memaksanya untuk terpejam sesaat, membuat keresahannya menguap perlahan.

"Capuccino adalah minuman yang mempunyai dua rasa, dan rasa itu bergradasi sempurna dalam takaran yang pas dan seimbang. Kurasa hidup ini seperti capuccino, ketika kau merasakan manisnya milk cream pasti kau juga merasakan pahitnya kopi, tapi tetap dalam takaran yang pas dan seimbang. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada manis dan pahitnya tersendiri, tinggal seberapa tinggi kepekaan hatimu dalam menganalisanya." jelas pria itu panjang lebar. Alena mengangguk perlahan, tanda mengerti.
"Sebutkan satu masa dengan rasa terpahit dalam hidupmu." Alena berkata pelan dan datar.

"Aku dilahirkan yatim piatu tanpa sanak saudara atau pun kerabat. Aku pernah hidup di jalanan tiga tahun." jawab Genandar dengan tatapan menerawang, mengingat-ingat masa terkelam yang sudah ia lalui.

"Rasa manisnya?"

"Tanpa sepengetahuan orang lain, ayahmu mengadopsiku untuk diperkerjakan. Saat itulah aku merasa punya keluarga. Seseorang yang mempercayaiku." sebulir air mata menetes dari mata kirinya, mengalir begitu saja. Membuat Alena tertegun.

"Jadi kau saudaraku?" tanya Alena cepat.

"Hanya saudara tiri." jawab pria itu lirih seraya mengangkat capuccinonya untuk disesap. "Aku diberi amanat dari Tuan Renaldi untuk selalu menjagamu." perlahan sebesit senyum merekah di bibir mungil gadis itu.

***
Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar