CERPEN : Sebilah Hati; Kunci yang Berkarat (karya Hidayatur Riana)

Segumpal awan abu-abu menepi di ujung Barat. Oh bukan—bukan, tapi di—bagian—Barat. Ah sama saja!
Kumainkan jemari di atas kertas usang dan sesekali mengetuk-ketukkan pikiran ke batang tubuh. Hawa dingin mulai merasuki lapisan jiwa. Angin tak bisa lagi bersantai menghembuskan dirinya kesana-kemari—membuat manusia-manusia di taman ini menduga air akan segera tumpah dari langit.
Engkau belum juga tiba sejak tiga jam dari waktu yang kita janjikan untuk bertemu di sini—di taman pinus pinggir kota. Ini bahkan sudah hampir lima belas tahun dari waktu terakhir kita berjumpa. Seperti apa gurat wajahmu saat ini—aku tak sanggup membayangkan.
***
Sebilah kunci menggantung di tubuh paku yang menempel di kusen jendela dekat rak buku. Aku masih tercenung duduk di tepi dipan—menangkupkan ke sepuluh jemari menyangga ragu. Tiga jam sudah dari waktu yang kita janjikan untuk bertemu. Masihkah kau menunggu?
Cuaca tak begitu cerah—garis-garis jingga menyemburkan diri pada tubuh-tubuh awan kelabu. Sendu.
Aku beranjak bersama resah. Melangkah gundah. Melongok ke luar jendela. Langit mulai pekat dan gerimis mulai mengundang hawa dingin. Ah tak seharusnya aku berjanji demikian. Aku masih begitu belia kala itu. Membuat janji yang meskipun saat ini telah kupenuhi—aku tak akan bisa membuat segalanya kembali.
***
Leburan air dari langit mulai runtuh menyentuh permukaan tubuh. Sejumlah pengunjung taman mulai berlari lalu-lalang menemukan tempat teduh. Sedang aku masih terpaku menunggu—berharap kau datang sekarang—menyelamatkanku dari tetesan-tetesan yang akan segera membuat kuyup. Untuk kesekian kali.
Ah… bukankah itu hanya ada dalam drama-drama roman murahan. Sudahlah, sebaiknya aku sudahi saja menunggu ini. Ya, sudah…
Langkah cepatku segera menggapai lantai salah satu saung di sebelah Selatan taman. Oh tidak, tidak! Utara—ya ini Utara. Andai saja kamu di sini mungkin aku tidak akan kebingungan arah seperti ini. Seperti bingungku pada janjimu yang tak kumengerti.
Aku berdiam menyudut, memeluk diri. Arsiran hujan menyerahkan diri terhembus kesana dan kemari. Sesekali batang tubuhku yang kuyup ini terkena percikannya. Toh, tidak akan ada yang menyadari keberadaanku di sini—di antara kerumunan manusia-manusia yang tengah dinodai kasmaran. Tawa-tawa kecil pasangan yang sungguh membuat geli. Tidak adakah hal lain yang bisa mereka bicarakan selain saling memuji?
Dih biarlah…
Mendengarnya saja aku muak—mual.
***
Otot retina tergoda untuk melirik kunci yang menggantung di tubuh paku—satu hasta dari tempatku berdiri di antara jendela. Ragu masih merantai tangan untuk menggapai benda yang warna kuning keemasannya mulai pudar. Sepertinya ini sudah lima belas tahun sejak aku memasung kunci itu pada paku—kini keduanya telah berkarat bersama. Ah waktu berjalan begitu cepat—tanpa khasiat. Bahkan sebilah kunci yang tak pernah lagi kusentuh telah merelakan diri kehilangan keanggunan warna emasnya dan berlumur karat. Demi sebuah ambisi.
Ya, saat ini aku telah memenuhi ambisi itu. Sebuah ambisi yang kugoreskan pada tubuhmu. Di saat keegoanku berada di puncak usia dua belas tahun.
Kehangatan jahe di cangkirku mulai menguar bersama suhu dingin yang dilahirkan oleh hujan lebat sore ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kamu sekarang. Bagaimana bentuk tubuhmu sekarang setelah melewati belasan musim. Masih pantaskah aku untuk menemuimu setelah kadar janji ini memudar?
Aku terkesiap.
Segera kuraih kunci berkarat itu terlepas dari tubuh paku yang setia memeluknya. Payung hitam kusambar dan kukibarkan secepat kilat sembari melangkah membelah kemesraan air menjatuhkan dirinya ke tanah bumi. Aku harap kau masih menunggu—memenuhi janjiku.
***
Aku memandangi Orion yang mengintip di langit-langit semesta. Hujan sudah berhenti dan semesta menggantinya dengan kerlip gemintang yang sendu menyapa. Seperti senduku yang tak juga lelah menunggu. Taman pinus di pinggir kota ini mulai sepi. Aku kembali melangkah ke tempat seharusnya berada—tempat di mana kamu berjanji akan menemuiku hari ini. Setelah lima belas tahun berlalu.
Getar deru langkah terdengar mendebum di permukaan rerumputan basah. Aku tidak tahu itu langkah siapa. Suara langkah terburu yang begitu menggema—membuat sebilah karat di tubuhku mengelupas—satu persatu. Kaukah itu?
Sosok bayangan gelap berdiri menjulang di hadapan. Aku tercenung beberapa saat. Ada rindu yang mencekat. Kaukah itu?
“Ternyata kau ada di sini—, bagaimana bisa ada di sini…” suara berat menggantung di udara.
Ya, itu kau…!
Sesosok pria berpostur tegap menggerakkan tubuhnya turun—menanggalkan payung hitam yang sedari tadi digenggam oleh tangan kekarnya—duduk menggapaiku.
***
Langkah ini mulai linglung saat kutemukan gundukan tanah terbongkar di antara rerumputan. Aku tidak mungkin salah ingat. Aku ingat telah menyimpanmu di sini. Di antara rumput berbunga di bawah pohon pinus ini. Jenis rumput yang sama—seperti tertanam belasan tahun yang lalu. Entah siapa yang menanam rumput putri malu ini—kini mengatup oleh sentuhanku.
Jejak-jejak tanah tergeletak di atas rerumputan basah. Aku mengikuti arah.
Seonggok kaleng kotak berwarna cokelat pudar berlumur tanah basah terdiam menggigil—seolah menatapku sendu. Warna jingga yang dulu pernah kutorehkan bersama ibu telah pudar.
“Ternyata kau ada di sini—, bagaimana bisa ada di sini…” kalimatku menggantung di langit-langit semesta yang pekat. Tak ada yang menjawab, tentu saja.
Mataku terkunci pada kaleng kotak berkarat di genggaman. Jemariku gemetar memasukkan sebilah kunci—membuka kotak milik Ibu yang kami buat bersama tentu saja.
“Kini aku menemuimu, aku sudah memenuhi ambisiku, Ibu. Seperti janjiku untuk menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia.”
Bulir hangat di ujung pelupuk memerihkan retina. Namun tak seperih hati yang terkerat rindu belasan tahun. Tertahan—demi membaca secarik kalimat yang disimpan ibu dalam kaleng kotak.
“Anakku, jadilah manusia. Tidak seperti Ibu yang hanya bisa memberimu makanan sisa dari tong sampah atau hasil mengemis belas kasih. Anakku, jadilah manusia yang bisa membuat Ibu bangga.”
Aku tergugu.
***
Usai sudah tugasku menjaga kalimat wasiat dari Ibumu yang telah kaupenuhi, Norega.
Kau memelukku dalam senyap. Dalam air mata yang tumpah membelah hati. Dalam kehangatan yang tak akan pernah kurasakan lagi setelah ini. Aku tahu amarahmu tak terbendung—bisa kurasakan itu dari cengkeraman tangan berototmu yang mulai menghancurkan tubuhku.
—–o0o—–

cerpen ini dicopas dari blog Riana
Previous
Next Post »