CERPEN: Pita Merah (Karya Iken Vidya)




            Hati tak akan mampu  menyembuhkan lukanya sendiri, Aila. Waktu terus melaju. Tak peduli siap atau tidak. Ia akan melindas setiap lintasan kehidupan manusia yang tak mampu mengimbanginya. Tanpa ampun. Tanpa kompromi. Ketika  ia telah melesat jauh di depanmu, ia tak akan menoleh lagi. Apakah kau lebih memilih diam pada satu titik hanya demi mendekap sebuah kenangan masa lalumu?

******

Aku memeluk helai rambutmu erat. Takut, jika angin yang berembus kencang sore ini melepaskan simpul ikatanku. Lantas, menerbangkanku bersama daun-daun kering yang berguguran di sepanjang trotoar. Aku cemas jika ia mengempaskanku ke dalam selokan yang airnya menderas selepas hujan siang tadi. Atau membawaku berputar ke udara seperti ia memperlakukanku layaknya debu yang hanya bisa pasrah tanpa perlawanan. Kemudian, menjauhkanku darimu. Itu adalah hal yang paling ingin aku hindari selama ini: berpisah dengamu.
            Kau tahu, Aila? Ketika pemuda bernama Bayu itu memilihku di antara pita warna-warni lainnya dalam sebuah toko pernak-pernik di pusat kota beberapa tahun yang lalu? Aku telah menghuni kotak kecil dalam toko itu selama berbulan-bulan. Merasakan pengap yang menghimpit berjubel dengan pita lainnya. Namun sepertinya para pembeli yang berkunjung tak begitu meminati warna merah sepertiku. Hingga ia singgah di sana. Tanpa banyak kata ia dengan mantap menjatuhkan satu pilihannya: pita merah.
            Di tengah suara tetesan hujan yang mengalir di sela-sela rerimbunan daun mangga depan rumahmu, Bayu memberikanku kepadamu bersama dengan selarik kertas berisi bait-bait puisi yang cukup manis. Semanis dirimu yang saat itu mengenakan baju serba merah. Ah, iya aku tahu, merah adalah warna favotimu kan?
            Semenjak itu pula kau tak pernah sedetik pun melewatkan harimu tanpa melingkarkanku di rambut sebahumu. Membentuk simpul pita yang selalu kau kenakan setiap hari. Pun saat kalian tengah berjalan-jalan di sepanjang taman kota, di antara rerimbunan pohon angsana, melewati emperan toko, perpustakaan hingga menyinggahi sebuah warung yang menjual martabak dan roti bakar kesukaanmu.
            Aku masih mengingat semuanya, Aila. Pun saat laki-laki itu tiba-tiba memilih untuk menghilang dari hidupmu.  Menyisakan sebuah janji dan kenangan yang masih kau simpan lekat-lekat dalam ingatanmu.
            “Tiga tahun itu lama tidak?’’ ujarmu pada Bayu setelah ia menyampaikan niatnya untuk menyambung impian di kota lain. Sebuah kota yang kau sendiri belum pernah menjejakkan kaki ke sana. Suatu tempat yang tak cukup ditempuh hanya dalam waktu beberapa jam saja.                                                                  
“Selalu ada simpul yang menautkan dua hati yang saling mencinta. Seperti simpul ikatan pita merah yang selalu kau kenakan. Itulah cinta kita,” sahut Bayu meyakinkanmu.
            Di tengah kebimbangan hati yang masih meragu, kau hanya bisa mengangguk. Mencoba memercayai Bayu. Itulah terakhir kali sosoknya muncul di hadapanmu. Meninggalkan sebuah janji yang entah akan ia penuhi atau tidak. Sedangkan aku masih berada di dekatmu dan turut menemani kesepianmu. Mencoba menawarkan kesedihanmu dengan kehadiranku. Satu hal yang perlu kau tahu: aku tak akan meninggalkamu.

****
                       
Di sini, di sebuah ayunan berwarna kuning yang catnya mulai mengelupas, kau masih membisu. Menatap kolam ikan yang airnya keruh berwarna kehijauan. Dulu kau dan Bayu seringkali menghabiskan waktu sore berdua. Menikmati siluet kemerahan di langit sembari berbincang apa saja. Tentang ikan-ikan di dalam kolam, burung-burung yang hinggap dan menggoyangkan dahan pepohonan. Pun tentang Bayu yang tak menyukai hujan. Dan tentang hal-hal kecil yang sederhana. Namun, jauh dari kata membosankan.
            Kini, di tempat yang sama kau masih memunguti keping-keping kenangan bersama Bayu. Lelaki itu benar-benar menghilang. Surat-surat yang kau kirimkan belum juga terbalas. Masihkah kau beranggapan bahwa ia akan kembali sesuai janjinya? Ini sudah lebih dari tiga tahun, Aila. Logikamu pasti cukup pintar untuk memahami situasi ini, bukan?
            Rintik gerimis mulai turun satu-satu. Menimpa jalanan beraspal, pepohonan, dan ayunan yang kau duduki sejak tadi. Tetesannya menimbulkan riak kecil di dalam air kolam yang sebelumnya tampak tenang. Udara dingin datang menikam. Titik hujan mulai menderas. Aku hanya bisa pasrah. Kau masih saja tak beranjak. Sementara orang-orang di sekitarmu mulai meninggalkan tempat ini dan bergegas untuk berteduh.
            Aku ingin berontak di sela-sela riuhnya deru hujan yang membuatku basah kuyup. Sementara kau seakan menikmati tarian yang hujan sajikan sore ini. Mungkinkah kau  berharap bisa meluruhkan beban perasaan yang menindihmu selama ini? Hingga tak memedulikan dinginnya air yang menusuk kulitmu.  Pun aku yang mulai menggigil.
            “Hei, Nona! Hujan kali ini sedang tidak bersahabat. Berteduhlah!’’ seru sebuah suara yang tiba-tiba hadir di belakangmu. Kau tampak tersentak mendengar suara lelaki yang terkesan membentak itu. Tanpa aba-aba ia mengulurkan sebuah payung lipat dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya masih membawa payung besar untuk melindungi dirinya dari hujan.
            “Pulanglah! Hari ini hujan sedang tidak ingin bebermain-main. Sebaiknya kau tidak mengganggu. Biarkan ia menikmati pertunjukannya sendiri,’’
            Kau hanya tertegun. Lantas menurut. Bagai terhipnotis, tanganmu bergegas menyambar payung itu. Lalu, membukanya dengan tergesa. Kemudian, berlari kecil memecah genangan air hujan yang bercampur lumpur di bawah kakimu.

*****
            Sudah satu minggu ini aku tergeletak di samping bantalmu. Selama itu pula aku tak lagi melingkar di rambutmu. Ya, sejak hujan menghujammu waktu itu, daya tahan tubuhmu perlahan menurun. Kau tahu, Aila? Kedua orangtuamu begitu mengkhawatirkanmu? Terlebih lagi saat melihatmu pulang dalam keadaan berantakan waktu itu. Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri?
            Kulihat kau tengah duduk di balik jendela kamar yang masih terbuka. Sepertinya kesehatanmu sudah mulai membaik. Tirai biru dengan motif burung-buung kecil berwarna putih yang tertiup angin itu sesekali menampar-nampar pipimu. Namun, kau tetap tak terusik.
            Tiba-tiba kau seperti tersentak. Dengan sedikit tertatih kau beranjak berdiri. Menyambar jaket yang tergeletak di atas tempat tidur. Tak lupa meraihku lantas kau genggam erat-erat dalam tanganmu tanpa melingkarkanku pada rambutmu seperti biasanya. Meski kau tak mengucapkan sepatah kata pun, aku sudah tahu ke mana tujuanmu sore ini.

*****

            Kau masih berdiri termangu di tepi kolam ikan. Mengamati  air yang tampak jernih tak lagi kehijauan saperti saat terakhir kali ke sini. Angin masih mengusik, menggelitik jemarimu. Seakan menarikku agar terlepas dari genggamanmu. Lagi-lagi ketakutan itu hadir menelisik. Aku masih menerka-nerka apa yang akan kau lakukan di sini, Aila.
            “Hai, Nona. Lama tak melihatmu, apa kabar?’’ seru sebuah suara sekaligus menyentakkmu dari alam lamunan.
            Ah, sebentar, sepertinya aku pernah mendengar suara ini. Kulihat kau pun menoleh, seraya mengerutkan kening sesaat mengamati laki-laki jangkung tak dikenal yang tadi berdiri di belakangmu.
            “Kau ...,’’
                        Laki-laki itu tertawa kecil. Melihat raut keheranan dari wajahmu. Aku pun ingat sekarang. Bagaimana bisa aku melupakan orang yang meminjamkan payung dengan suara terkesan membentak kala itu. Apakah hujan saat itu sedikit mengaburkan pandanganmu sehingga kau sama sekali tak ingat siapa dia, Aila?
            “Maaf, payungmu lupa aku kembalikan. Hmm ... terima kasih ... waktu itu ...,’’
            “Kolam ini baru saja dibersihkan tiga hari yang lalu,’’ ucapnya memotong perkataanmu. “Ada orang bunuh diri, mati konyol, menyeburkan dirinya ke  sini,’’
            Kau ternganga. Lantas mundur satu langkah ke belakang. Menjauhi tepi kolam. Wajahmu mendadak pucat pasi.
            “Kenapa?’’
            “Oh, tidak ... tidak ada apa-apa,’’
            “Hahaha! Aku bercanda. Itu bohong!’’
            Kau memberengut. Sekaligus bernapas lega. Lantas, melempar pandangan ke arah anak-anak kecil yang kebetulan lewat mengendarai sepeda di seberang kolam ikan. Anak-anak itu tampak tertawa satu sama lain. Ah, sudah lama aku tak melihatmu seceria mereka, Aila.
            “Sebentar lagi hujan akan turun,” sahut lelaki itu seraya merentangkan tangan. Lantas menarik napas dalam-dalam. Seakan membaui sesuatu.
            “Dari mana kau tahu? Kau lihat kan langit sore ini tak ada tanda-tanda akan turun hujan,’’ balasmu dengan nada keheranan.                      Rasa canggung yang sempat terasa di antara kalian mendadak sirna. Tergantikan oleh kehangatan yang tercipta. Seperti sahabat lama yang baru saja berjumpa. Padahal aku pun yakin kau belum pernah berkenalan dengannya.
            “Hujan itu sahabatku. Jadi, aku lebih tahu dari peramal cuaca sekalipun.”
            “Ah, mana ada seperti itu,”
            “Kau harus percaya, hujanlah yang memberitahuku saat kau meratap di pinggir kolam waktu itu,  karena itulah aku lekas datang membawakan payung untukmu,”
            “Maksudmu? Jangan bilang kau sedang bercanda lagi!”
            “Ah, lupakan saja. Oh iya, sudah lama kau tak mampir ke toko Romarta, kan? Ada martabak mini rasa terbaru, kau harus mencobanya,” tambah lelaki itu seraya menunjuk salah satu tempat yang tak lain adalah toko yang menjual martabak dan roti bakar langgananmu dulu.
            “Kau ... dari mana kau tahu?”
            “Hahaha! Tak usah heran begitu. Aku kadang bekerja di sana, membantu kakakku. Aku sering melihatmu sejak Romarta buka pertama kali. Dan saat kau selalu datang dengan teman lelakimu itu,”
            Aku merasakan kau sedikit tersentak mendengarnya. Namun, kau tampak enggan berkomentar. Masih menunggu hal-hal mengejutkan lain yang mungkin saja akan ia lontarkan.
            “Kau benar-benar penggila warna merah, ya? Martabak krim stroberi, roti bakar selai stroberi, dan jus tomat dengan sedotan merah!" ia terbahak keras.                             Kau masih terpaku. Sementara tanganmu menggenggamku erat.
            “Tapi ... dari mana kau ... tahu semua itu?”
            “Aku tahu apa yang tak orang lain tahu, Aila. Jauh lebih tahu sebelum pita merahmu itu mengikatmu.”
                         *****


Biodata          
Nama Pena      : Iken Vidya
Nama Asli       : Iken Setya Widyaningrum
Alamat                        : Jalan Diponegoro Gang Kaligayam II no: 159 C RT 01/12 Kel. Sidorejo Lor Kec. Sidorejo Salatiga Jawa Tengah
Previous
Next Post »